My Profile Facebook

Ikuti Blog Ini . . .

Magazine

Smoke

Natural

Feature

Video News

Ilustrasi. Cerita Pendek (Cerpen) oleh Tika Yuliani, siswa SMA Muhammadiyah Cibiuk./Pixabay.com/belseykurns/


Cerita Pendek Oleh: Tika Yuliani

Kesibukan orang-orang yang berlalu lalang di hadapan dengan tiupan lembut semesta di sore hari menusuk kulit, tidak setitikpun membantuku. Mesin pencari terhebat pun belum tentu bisa menjawab pertanyaanku dengan akurat, tentang cara bertahan hidup dengan uang gaji terakhir yang dipotong setengahnya. Baru membayangkan raut wajah Ibu ketika menjelaskan ini, aku merasa tidak sanggup. Setelah kepergian Ayah, aku sebagai anak laki-laki menggantikan perannya sebagai tulang punggung keluarga.

Sejak beberapa bulan terakhir , mencuat kabar yang menyita perhatian dunia dan tersebar melalui media massa tentang sebuah penyakit yang disebabkan oleh makhluk, yang bahkan cara hidupnya pun masih menjadi kontroversi para ahli virus. Kupikir dia hanya ada di negeri seberang, tetapi, penyebarannya begitu cepat. Kedamaian tanah airku di tengah kalang kabut pun mulai terenggut, membuatku sadar bahwa di setiap awal pasti ada akhir .

N-Virus menjadi topik utama pemberitaan yang menggegerkan, dan akhirnya ditetapkan sebagai pandemi. Sekolah, tempat wisata bahkan sampai pabrikpun ditutup. Baru beberapa pekan belakangan ini, tempatku bekerja kembali dibuka. Akan tetapi, tidak ada yang sempurna karena N-Virus. Pabrikku dibuka dengan pengurangan karyawan, termasuk aku yang harus menerima kenyataan pahit.

Berada di sini lebih lama tidak akan merubah apapun. Realita harus dihadapi. Aku bangkit dari teras pabrik menaiki angkutan umum menuju rumah. Kendaraan roda dua pun bahkan tidak aku miliki, sejak beberapa bulan terakhir sebagian besar gajiku dipakai untuk biaya sekolah Novi —adikku— ke jenjang sekolah menengah atas.

***

Langkah gontai yang kehilangan harap, pelan- pelan membawaku pada sebuah rumah yang tua ini. Cukup dengan melihat keadaanya saja, mungkin orang akan bisa memperkirakan berapa usianya. Ketukan terdengar begitu aku membuat kepalan tangan dan pintu kayu ini beradu, tidak lupa bibir ini mengucapkan salam. Tidak lama berselang, terdengar suara jawaban yang membuatku menurunkan tangan.

Detik-detik pengakuan itu semakin dekat. Pintu di hadapanku terbuka, menampilkan wajah seorang wanita yang sudah berkerut di beberapa bagiannya.

"Aldi." Ibu menyapa dengan lembut. Aku menunduk, mencium tangannya dengan hormat atas jasa-jasa beliau yang tidak akan pernah bisa aku balas seujung kuku pun.

Aku bangkit memandang wajah wanita yang biasa aku Ibu dengan sebuah senyum tipis yang menyembunyikan bermacam rasa kesal, sedih dan marah juga bingung bercampur aduk pada saat yang sama, seolah mendobr ak ingin diluahkan di setiap kali memiliki kesempatan..

"Ayo masuk, Di. Kalau mau makan, sudah Ibu siapkan." Setelah mengatakannya, Ibu berlalu masuk meninggalkanku sendirian untuk sejenak.

Di dalam sana terdapat empat buah kursi tua, yang mengelilingi meja berbentuk bundar. aku mengikuti jejak Ibu yang kini duduk di salah satu kursi itu. Langkah ini terhenti sejenak. Memandangi beliau yang hanya duduk diam di sana. Benda-benda ukiran buatan Ayah itu, menjadi saksi bisu Ibu yang selalu menghabiskan waktu luangnya di sana. Menggulir kenangan pernikahannya dengan Ayah.

Cinta mereka sangat besar satu sama lain, karenanyalah Ibu benar-benar terluka ketika Ayah pergi untuk selamanya. Akan tetapi, dia berhasil mengendalikan diri sehingga tidak berlarut-larut. Sejak itu, hanya Ibu dan Novi yang aku miliki. Sejak itu pula, seluruh hal yang aku alami diceritakan padanya, apapun itu.

Akan tetapi ... itu dulu. Dulu sebelum mengerti, bahwa tidak semuanya harus diceritakan. Dulu, sebelumaku mengerti makna tangis diam-diam Ibu, setelah pada hari yang sama aku menceritakan apa yang terjadi. Salah satunya, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar saat bel istirahat berbunyi, teman- teman berhambur keluar menuju kantin. Sementara aku yang tidak punya uang, hanya bisa melihat mereka yang menyantap makan dengan nikmat seraya menelan ludah. Polosnya, aku menceritakan itu pada Ibu yang selama ini bekerja serabutan untuk menghidupi kami. Selama mampu, tidak pernah tidak untuk dikerjakan meski dengan upah tidak seberapa. Tidak aku sangka, bahwa ceritaku justru melukainya.

Keadaan telah berubah, memaksaku untuk bersikap dewasa meski aku rindu untuk selalu berada di pelukannya. Akan tetapi, terlahir sebagai anak laki-laki membuatku harus mengerti akan pandangan dunia yang menjadikannya sebagai simbol kekuatan. Tidak banyak bicara atau mengeluh. Hidup yang dilalui seperti hanya untuk yang dicintai, keluarga. Tidak ada ruang untuk berbagi kelemahan yang umumnya dimiliki manusia.

Tidak ada yang melarang untuk benar-benar jujur dengan perasaan sendiri, tetapi dalam keheningan yang terjadi, telah terikrarkan sebuah janji untuk tetap kuat. Menjalani tugas sebagaimana pandangan dunia tentang makhluk bernama pria.

"Aldi?"

Suara yang sampai ke telinga membuyarkan lamunan tentang kerinduan. Menyeretku kembali ke dunia nyata yang menyakitkan. Sekali lagi, aku tersenyum tipis kemudian mendekat dan duduk di hadapannya.

Suasana hening. Aku menunduk menyusun kata untuk menyampaikan berita ini. Perasaanku mengatakan, bahwa Ibu tengah memperhatikanku dalam diam.

“Kenapa?” Aku tersentak ketika mendengarnya, dan sontak mendongak membuat pandangan kami beradu meskipun aku sudah tahu apa yang sedang Ibu lakukan. Lidah ini mendadak terasa kelu untuk menjelaskan semuanya. Ayolah, Di!

"Bu, pekerjaanku di pabrik sudah selesai." Sebisa mungkin memilih kata-kata halus untuk menyampaikan ini, meskipun tidak berguna karena akan kalah oleh sakitnya kenyataan.

Ibu terdiam masih dengan pandangan yang saling bertaut. Raut wajahnya tidak berubah, menyulitkanku untuk menebak apa yang ada di pikirannya sekarang. Bahkan ketika beliau bicara, aku masih belum bisa menyelami perasaan yang sesungguhnya. “Tidak apa Di, mungkin sudah saatnya kamu istirahat sebentar . Bersabar lah, semua pasti ada hikmahnya.”

Nasib orang kecil yang tidak punya kekuasaaan, hanya bisa tunduk pada aturan orang-orang besar. Bibir ini tertutup rapat dengan kepala tertunduk. Suasana hening. Aku mengeluarkan uang dari saku, kemudian memberikannya dengan tangan gemetar. "Ini, gaji terakhir aku, Bu."

“Makasih, Di." Suara Ibu terdengar sangat bersyukur, meski uangnya tidak seberapa. Setelah lembaran beralih di tangannya, beliau kembali menambakan, "Ini ditambah dengan sisa-sisa uang yang Ibu punya, pasti cukup untuk biaya hidup kita."

Aku tahu, hanya saja tidak ada jaminan sampai kapan semua ini berakhir. Aku yakin, uang sisa gajiku yang juga dipotong kemarin, pastilah tidak banyak. Apalagi, dengan kebutuhan yang dengan adanya pandemi semakin bertambah. Novi belajar di rumah, dan tentunya membutuhkan kuota internet yang tidak murah. Akan tetapi Ibu, dia masih tegar berlindung di balik kata 'sisa- sisa uang'.

“Tapi mungkin, untuk makan kita harus sedikit menghemat. Tidak apa-apa, ya?" Bagiku, pertanyaan Ibu berjenis retoris dan tentu saja tidak perlu jawab.

***

Suara gerutuan kecil yang bersumber dari Novi, mencegat langkah. Terpaksa aku menoleh melihat raut kekesalan gadis itu yang menekan-nekan layar ponsel. Cukup melihat modelnya saja, sudah bisa ditebak keluaran tahun berapa. Ketinggalan zaman. Aku yakin, sebab gerutuannya pasti karena benda itu bergerak lamban. Tidak bisa mengikuti kecepatan deadline yang diberikan gurunya.

Pandemi ini menjengkelkan. Keadaan membuat semua orang terpaksa dipandang sama rata. Novi bukan anak keluarga kaya yang mampu menyeimbangi teman-temannya. Jangankan untuk ponsel baru, makan sehari tiga kali saja adalah keberuntungan. Aku berlalu pergi dari sana, bertanya basa-basi hal yang sudah pasti jawabannya tidak akan bisa aku ubah hanya sia-sia percuma.

***

Kehidupan selalu penuh keajaiban. Sebuah telepon datang dari temanku lamaku yang kini terpisahkan ratusan kilo meter. Meksipun N-Virus menghancurkan hampir seluruh lini perekonomian, tetaplah, dia masih bisa hidup tenang karena tempatnya tinggal cukup terpencil, dan 'langkah' N-Virus tidak sepanjang itu untuk mengacak-acak kehidupan di sana. Oleh karena itulah, di sana semuanya baik-baik saja dan tulang punggung masih bekerja seperti umumnya.

Tujuannya menelepon adalah membicarakan tawaran pekerjaan sebagai tukang cukur di salon khusus pria yang baru saja buka di sana. Ketika bertanya alasannya, dia bilang karena dulu aku selalu bekerja menghabiskan waktu luang di salon milik ayahnya. Dia tahu keahlianku yang berasal dari hanya memperhatikan, hingga menjadi pekerja tidak resmi di sana. Walaupun waktu telah mengikis keahlian itu, tapi ilmu itulah tidak akan benar-benar hilang, pelan akan kembali seiring dengan waktu.

Namun, sekali lagi aku berhadapan dengan situasi dilema. Ibu tidak setuju. Dia hanya mengatakan satu kalimat, "N-Virus ini bahaya."

Aku tidak membantah ataupun menyetujui. Diam-diam dia mencari tahu lebih dalam tentang “si Pengacau” itu melalui sebuah website terpercaya. Dengan suara lirih, aku mulai membaca kumpulan aksara berisi penjelasan.

"N-Virus ialah sebuah mikroorganisme patogen yang merupakan kepanjangan dari Neour Virus. Namanya diambil dari dampak yang ditimbulkan ketika berhasil masuk pada organisme lain, yang umumnya manusia dan menjadikan tubuh mereka sebagai "rumah" untuk berkembang biak dengan mengeluarkan materi genetiknya."

Aku terdiam sejenak dengan dahi berkerut, berusaha memahami kata-kata ilmiah itu. Jika masih tidak paham, mencoba menyambungkannya dengan kata sebelumnya. Setelah cukup paham, aku melanjutkan.. " N-Virus menyerang pada sistem koordinasi yang membuat kerusakan pada saraf. Baik itu pada saraf otonom, motorik ataupun sensorik. Adapun, gejala-gejala yang muncul tergantung pada imun orang yang terpapar.

"Pada mereka yang terpapar dengan gejala ringan, ditandai dengan sering mengalami kesemutan, mudah lupa, sulit berpikir dan umumnya merasa berat untuk menggerakkan tangan atau kaki. Sementara pada kategori sedang, penyandang seringkali mendadak cadel ketika bicara, kepala pusing, disertai ketidakmampuan menggerakan satu atau beberapa anggota tubuh lainnya. Pada beberapa pasien, mereka pun mengalami mati rasa.

"Pada penyandang N-Virus dengan tingkat berat, selain dari gejala tadi yang semakin berat ketika imun melemah, mereka pun bisa mengalami kejang, kelumpuhan di seluruh atau sebagian besar tubuh, kehilangan ingatannya dan bahkan bisa sampai gagal jantung karena saraf yang tidak lagi bisa mengatur gerak tidak sadar dengan sempurna.

"Tingkat kesembuhan pada pasien tergantung pada imunnya sendiri. Akan tetapi, pada penderita dengan gejala sedang dan berat tidak akan bisa benar-benar kembali seperti semula ketika sudah sembuh. Virus itu meninggalkan jejak bahkan setelah hancur sekalipun. Bisa saja, mereka tidak akan bisa kembali bicara, berjalan atau lainnya meskipun sudah dinyatakan negatif."

Cukup, aku berhenti membaca. Kini, aku mengerti larangan Ibu. Benakku membayang tentang kepergian nanti. Pandemi hanya mengurangi sedikit kerumunan orang yang ada diterminal. Terlepas dari itu, sedikit atau banyaknya orang yang ditemui tidak menjamin keselamatan dari N-Virus.

Tempat baruku mengais rezeki itu memang tidak terlalu terdampak pandemi. Mendapatkan pekerjaan di keadaan seperti ini, adalah kesempatan besar yang tidak seharusnya disia-siakan. Akan tetapi, semua ini membuatku ragu. Bagaimana jika aku terpapar?

***

Renungan tanpa perubahan adalah sia-sia. Nekat adalah jalan terbaik untuk menyeimbangi roda kehidupan yang terus berputar. Harapan hidup yang lebih baik, membuat pilihanku jatuh untuk merantau mengalahkan ketakutan yang terus menghantui.

Setelah bersimpuh di sepertiga malam dan meyakinkan Ibu, aku memilih jalan ini. "Hati- hati di sana, Di. Jaga diri baik-baik." Pesan singkat darinya sebelum pergi selalu terngiang.

Sebuah keberuntungan menghampiri untuk yang kedua kali. Perjalananku menuju kota baru berjalan lancar. Hari-hari awal aku lalui dengan berat, tapi suara menenangkan Ibu yang terdengar melalui ponsel Novi, membuatku bisa bertahan.

Waktu berlalu, tapi tidak sedikit pun penyiaran tentang N-Virus berkurang bahkan meski sejengkal. Kasusnya meningkat pesat setiap hari. Bahkan kini, tempatku tinggal pun mulai resah. Satu per satu orang mulai terpapar virus yang seolah tertawa meledek, karena dengan sombong berpikir bahwa dia tidak akan sampai ke sini.

N-Virus berhasil memisahkanku dengan pekerjaan dan keluarga. Namun, sepertinya itu belum cukup. Takdir berkata aku harus menjadi salah satu bagian dari mereka. Hidup sendirian di ruang isolasi dengan seluruh rasa sakit yang menjadi temanku.

Ibu dan Novi begitu terluka ketika aku mengatakan tentang keadaanku yang sebenarnya. Aku tidak bisa berbohong pada mereka ketika mempertanyakan cara bicaraku yang cadel. Tentu saja, karena imunku tidak sekuat itu untuk menahan virus agar tidak menimbulkan gejala dengan tingkat sedang.

Aku diberhentikan sementara dari pekerjaan. Kembali mengais rezeki di sana atau tidak, tergantung pada efek setelah aku sembuh. Virus yang bersarang membuatku tidak bisa berjalan, dan hanya bisa menggerakan satu tangan. Berbicara kurang jelas yang membuatku merasa lemah. Sementara uang yang sudah menjadi hakku, akan ditransferkan melalui bank. Pemikiranku tentang simbol kekuatan berubah, dia adalah Ibu yang pada hari-hari selanjutnya selalu memberikan semangat untuk sehat dan kuat.

Sekarang, adalah hari kelima berada di sini. Sejak pagi, aku menghubungi Novi tapi tidak sekali pun terangkat. Mungkin dia sibuk, pikirku untuk menenangkan diri. Akan tetapi, kegelisahan yang tetap menggelayut membuatku kini kembali meneleponnya dengan harap-harap cemas.

Perasaanku berubah lega ketika panggilan terangkat. Aku langsung menodongkan pertanyaan, "Nov, kamu kemana aja?"

Tidak ada jawaban, tetapi di belakangnya terdengar keriuhan yang tidak terlalu jelas. Sekali lagi aku memanggilnya, "Novi?"

"Di."

Dari cara memanggilnya saja, jelas bukan Novi. Was-was, aku segera bertanya, "Siapa ini?" "Ini tetanggamu, Di." Penjelasan singkatnya membuatku ingat pernah mendengar suara itu.

"Kemana Novi?" Perasaanku kian gelisah.

"Ada kecelakaan di pasar karena mobil remblong." "Lalu?" Dahiku mengernyit tidak paham.

"Ibu dan adikmu menjadi korbannya."

"Kemana mereka sekarang?" Aku bertanya dengan kekhawatiran penuh. " Mereka ... meninggal, Di."

Seketika dunia terasa runtuh menimpaku yang tidak berdaya. Dua binar cahaya dalam hidup yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan, telah meredup dan padam untuk selama-lamanya.